Minggu, 09 April 2017

Budaya-budaya yang berlaku di dalam masyarakat luas

Bahasa mempunyai kaitan dengan masyarakat, kebudayaan, dan pikiran penuturnya, bahkan dengan dunia secara umum. Bahasa, lebih jauh, dapat pula dikatakan sebagai bentuk budaya manusia. Silverstein (Duranti, 1997:7) mengungkapkan bahwa kemungkinan gambaran-gambaran kebudayaan (masyarakat tertentu) tergantung pada sejauh mana bahasa masyarakat tersebut memungkinkan penuturnya mengujarkan apa yang dilakukan oleh kata dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli antropologi yang mempunyai perhatian terhadap ihwal bahasa, seperti Boas, Malinowski, dan yang lain, berpendapat bahwa penafsiran bentuk, nilai, dan peristiwa budaya dilakukan dengan cermat melalui bahasa. Tanpa bahasa tidak akan ada peristiwa yang dapat dilaporkan.
Teori relativitas linguistik yang menjadi dasar perumusan hipotesis Sapir-Whorf mengungkapkan bahwa ada keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Meskipun sebagian ahli keberatan dengan teori dan hipotesis itu, namun keberadaannya dalam khasanah teori linguistik, terutama dalam sosiolinguistik dan linguistik antropologi, cukup berpengaruh. Teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Teori ini diperkuat oleh Sapir dan Whorf dengan menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berprilaku.
Bahasa dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut Foley (1997: 27–29), bahasa adalah sistem tanda dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Prinsip-prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa bahasa yang bersangkutan. Lebih lanjut, dapat pula dikatakan bahwa bahasa merupakan wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan kehidupan sosial. Sewaktu digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya; bahasa mewujudkan kenyataan budaya; dan bahasa melambangkan kenyataan budaya.
Manusia berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Inilah gagasan dasar teori relativitas linguistik, yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian-Amerika. Pandangan Whorf mengenai adanya saling ketergantungan antara bahasa dengan pikiran dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis Sapir-Whorf lebih tegas menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berprilaku. Bahasa dapat dikatakan sebagai bagian integral dari manusia – bahasa menyerap setiap pikiran dan cara penuturnya memandang dunianya.
Keberhubungan antara bahasa, masyarakat, dan kebudayaan terjadi secara berlapis, rumit, dan alami. Manusia dan kebudayaan adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada budaya tanpa manusia, dan tidak ada manusia (lazimnya) tanpa budaya. Keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang begitu erat terjadi pada tataran lahiriah dan batiniah dalam kehidupn manusia, termasuk dalam pemerolahan dan pembalajaran bahasa. Aspek kesantunan berbahasa termasuk bagian penting dalam peristiwa komunikasi verbal yang erat pula persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Rasa budaya dan rasa bahasa masyarakat tertentu terjadi secara alamiah melalui proses pemerolehan dan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, Duranti (1997) mengatakan bahwa kebudayaan juga dipndang sebagai sesuatu yang dipelajari, dipindahkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui tindakan manusia; keseringannya dalam bentuk interaksi langsung, dan tentu saja, melalui komunikasi linguistik. Dalam pemerolehan bahasa, alam dan budaya berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan kekhasan bahasa-bahasa manusia.
Kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat penting dalam berbahasa yang mendukung keberhasilan penyampaian pesan. Meskipun konsep kesantunan cukup abstrak dan berbeda sesuai dengan pandangan sosial-budaya serta pribadi tertentu, namun secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kesantunan berbahasa berkaitan dengan “penghormatan” (honorific) atau penempatan seseorang pada tempat “terhormat” (honor), atau sekurang-kurangnya menempatkan seseorang pada tempat yang diingininya. Yule (1998:60), misalnya, berpendapat bahwa kesantunan dalam interaksi (berbahasa) dapat didefinisikan sebagai kiat yang dipakai untuk memperlihatkan kepedulian terhadap citra-diri seseorang di tengah masyarakatnya. Wierzbicka (1994:69) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berbeda dan dalam komunitas yang berbeda, orang berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara berbicara tersebut cukup dapat diamati dan sistematis. Perbedaan-perbedaan itu, di antaranya, menggambrakan nilai budaya yang ada di tengah masyarakat tertentu. Cara berbicara yang berbeda, gaya kominikatif yang berbeda, atau pilihan struktur kalimat (ujaran) yang berbeda mempunyai perbedaan kandungan nilai sosial-budaya, di samping nilai kebahasaan lainnya. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain.
Untuk dapat melihat keberhubungan antara bahasa, masyarakat, dan budaya, serta kaitannya dengan relativitas bahasa, kita dapat melihat pola kesantunan berbahasa dalam bahasa Jawa. Kesantunan dalam bahasa Jawa merujuk pada pilihan ragam “halus” (krama), dan ragam “kasar” (ngoko). Misalnya dalam kalimat imperatif dalam ragam ngoko, pilihan leksikal dan pola kalimatnya berbeda dengan ragam krama; memiliki kaidahnya masing-masing.  Mari kita bandingkan.
Ragam ngoko
            Mangana, dhisik. Mengko ndak lara.
            ‘makanlah dahulu. Kalau tidak, nanti bisa sakit.’
Ragam krama
            Panjenengan kula aturi dhahar rumiyin, supados mangke mboten gerah.
            ‘Anda saya persilahkan makan dahulu, supaya nanti tidak sakit.’ 

Pustaka Acuan
Duranti, Allessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Yule, George. 1998. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.


Wierzbicka, Anna. 1994. ‘Cultural Scripts: A New Approach to the Study of Cross-Cultural Communication’ dalam Putz, Martin. 1994. Language Contact and Language Conflicts. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar